Jumat, 15 Januari 2010

Kata Jorok Pertama

Mengingat sesuatu yang terbenam puluhan tahun di otak sama halnya membuka-buka lembaran yang sudah usang, walaupun usang namun sangat berarti untuk hidup kita. Pertama-tama belajar bahasa aku hanya mengenal bunyi /a/, /i/, /u/, ternyata bunyi itu adalah System Vokal Minimal atau bunyi pertama yang keluar ketika anak mulai berbicara, semua bahasa di dunia memiliki minimal tiga vokal ini, dari ketiga bunyi vokal tersebut, bunyi vokal /a/ yang paling mudah diucapkan. Lama kelamaan aku mengenal bunyi konsonan /p/,/b/,/m/,/n/, bunyi konsonan itu disebut Sistem Konsonantal Minimal.
Waktu itu aku sudah mulai cas-cis-cus karena telah dapat mengucapkan “ibu” dengan sempurna atau sudah tidak terbata-bata lagi, aku tau yang dimaksud ibu yaitu orang yang sering menyuapiku, memandikanku, pokoknya yang mengurusi tentang diriku. Aku juga telah dapat mengucapkan “ayah..”, yang aku tau tentang ayah adalah orang yang tidur disampingku dan ibuku ketika malam, ayah tidak selalu disampingku, jarang menyuapiku, memandikanku. Seingatku ayahku itu sering menyuruhku mencium tangannya lalu berkata “ayah ke kantor dulu… sayang” kemudian mencium keningku. Sepertinya kegiatan yang paling sering dilakukan.
Setelah aku puas membuka memori di rumah, aku berjalan sebentar dan berhenti di tepi jalan dekat rumah.
Hari itu aku menunggu seperti biasa, berharap mendapat ciuman di keningku. Akan tetapi, ayahku belum bersiap-siap, justru tidak memakai pakaian seperti biasanya. Aku baru mengerti bahwa ketika hari Minggu ayahku tidak pergi ke kantor. Hari ini ayahku akan bekerja bakti membersihkan lingkungan. Aku merengek ingin ikut.
Saat itu teringat bahwa aku mengalami proses sosialisasi dengan orang dewasa. Ketika para orang dewasa mencangkuli rumput, aku malah asyik sendiri memainkan rumput dan kerikil di samping ayahku. Dan aku melihat para ibu sedang mempersiapkan makanan dan juga minuman. Dalam tradisi di desa, biasanya ketika orang laki-laki sedang bekerja bakti, maka kaum hawa wajib memasak dan menghidangkannya.
“adek sini dulu ya? Ayah mau ngambil minum dulu” tutur ayahku agak membungkukkan badan.
Aku mengangguk saja. Disampingku ternyata ada dua orang yang sedang mengobrol sambil bercanda, dan tiba-tiba mengeluarkan kata “asu ” dengan kerasnya. Aku menatap ke arah dua orang tersebut. Sampai-sampai seseorang menegur mereka “wis to bercandanya, nanti keterusan”.
Kemudian tak seberapa lama ayahku datang dan memberiku segelas air teh yang masih hangat. “adek.. minum dulu ya?”. Aku hanya menggelengkan kepala tanda tak mau .
Ayahku duduk sambil bercerita dengan orang lain. Aku asyik sendiri dengan rumput, kerikil, tanah dan lidi. Tanah-tanah aku buat gundukan seperti gunung, lalu aku ratakan lagi. Sampai tak terhitung lagi berapa kali aku melakukannya. Tanganku kotor semua. Kerja bakti juga telah usai, diajaknya aku oleh ayah untuk pulang ke rumah. Namun, aku masih asyik bermain, ditambah lagi aku sekarang punya teman. Namanya Aji, tetangga rumah. Aku jarang keluar rumah untuk main karena memang rumahnya agak jauh dengan tetangga sekitar. Boleh dibilang menyendiri. Setelah beberapa lama, akhirnya aku dan Aji bosan juga. Ayahku dan ayahnya Aji mengajak aku dan Aji pulang ke rumah karena matahari telah beranjak naik dan menyengat di kulit.
Aku menggelengkan kepala, jalan itu tidak berubah, semua masih seperti dulu, hanya telah diaspal dengan kualitas yang kurang baik. Aku pindah haluan ke tempat yang lain, aku ingin melihat kamar rumah bagian depan, tempat aku menngigau tentang kata “asu”.
Seperti biasa, setelah azan isya, Ibuku mengajakku tidur. Sebelum tidur bercerita terlebih dahulu, ceritanya adalah tentang kancil yang berlomba lari dengan siput, karena kancil sombong akhirnya siput yang menang lomba lari, rupanya kancil tertidur saat akan beranjak garis terakhir perlombaan.
Cerita ditutup dengan pesan “walaupun adek memiliki kemampuan lebih dari orang lain, adek tidak boleh sombong, tidak boleh terlalu menunjukkannya”. Aku belum begitu mengerti dan hanya mengangguk. Seketika itu juga aku diajak oleh ibuku untuk beranjak tidur dengan diiringi lagu ‘nina bobok’, seperti biasa pula aku minta agar kata nina diganti dengan adek.
Adegan itu terkenang dalam otakku, setelah aku remaja diceritai oleh ibuku bahwa aku pernah mengigau dengan kata “asu…. asu… asu…”. Ibuku yang mendengarnya dengan antisipatif, beliau mengalihkannya dengan mengajakku berbicara “bukan… bukan…. asuuu… dek… tapi boooiiii”. Lalu igauanku berganti dengan “boi…boi…boi…”. Akhirnya sampai saat ini jika aku menyebut asu dengan boiii, karena dirasa lebih halus daripada kata asu, kata asu cenderung digunakan untuk mengumpat. Setelah diselidiki oleh ibuku, ternyata aku mendapatkan kata asu secara spontan karena mendengar ada orang yang mengatakan asu.
Aku mengambil sepeda motorku, karena aku ingin melihat sekolah TK, tempat dahulu aku menemukan teman-teman sebaya.

Tidak ada komentar: