Senin, 30 Agustus 2010

Kebangkitan Kearifan Lokal


Kebangkitan Kearifan Lokal
oleh Ade Cahyadi Setyawan

Budaya pada dasarnya tidak boleh dipandang secara hierarki budaya misalnya dengan membedakan ada yang modern dan tidak modern. Atau menyebutkan secra langsung bahwa kebudayaan Jawa lebih modern dari kebudayaan Papua. Dari sinilah timbulnya benih-benih rasisme, jika menarik kembali kebeberapa dekade yang lalu. Tentu saja pakaian yang kita gunakan sekarang ini jauh berbeda dengan orang-orang yang ada pada saat itu. Perubahan suatu kebudayaan ada, pada dasarnya kebudayaan bersifat dinamis, tentu saja karena dikehendaki oleh semua orang. Mungkin perubahan kebudayaan awalnya dikonsepkan untuk tujuan yang baik.
Seperti kehadiran internet di Indonesia, tentu saja membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia. Yang disayangkan adalah masyarakat Indonesia sebagai user, hanya sebagai pengguna. Efek samping dari internet tersebut adalah jika digunakan untuk hal-hal yang tidak baik atau bahkan dapat dikategorikan ke dalam cyber crime. Begitu pula obat bius, jika digunakan dengan tepat, maksudnya oleh dokter tentu dapat bermanfaat ketika melakukan operasi pada pasiennya. Tetapi, jika digunakan tidak tepat dan disalahgunakan oleh orang lain tentu dapat sangat membahayakan.
Jadi, pada intinya saya ingin mengajak untuk jangan berdebat tentang masalah kebudayaan, tetapi bagaimana caranya mencari solusi dari masalah kebudayaan demi kepentingan kemanusiaan dan kehidupan yang lebih baik. Mungkin tulisan di bawah ini akan membuat kita berpikir semua.

                                                       Tanggap, Tangguh, Tanggon
(sebuah konsep cara masyarakat Jawa mengatasi kehidupan)

1. Pengantar
Kehidupan adalah proses yang harus dihadapi manusia. Dalam proses kehidupan ada beberapa tahapan / siklus yang tidak statis. Dunia kehidupan manusia bergerak, dari masa bayi, masa balita, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua. Dalam kehidupan tersebut ada kehidupan sosial. Manusia disebut sebagai makhluk sosial karena manusia harus berinteraksi dengan manusia yang lain. Terkadang dalam proses interaksi sosial, antara manusia yang satu dengan yang lainnya terdapat masalah. Masalah tersebut sebenarnya bisa diantisipasi dengan kearifan proposisi Tanggap, Tangguh, Tanggon dari masyarakat Jawa.

2. Tanggap
Apa yang dimaksud tanggap? Mungkin banyak yang mengartikan bahwa tanggap adalah bereaksi dengan cepat. Bisa saja diartikan seperti itu, karena bisa saja dijelaskan dengan hukum aksi-reaksi. Tetapi, rasanya menurut saya jika aksi tersebut dihadapi dengan reaksi yang tidak benar justru dapat berakibat fatal. Sebagai contoh: Ada orang yang mengalami kecelakaan, dan kita menolongnya tanpa mengetahui cara menolong yang benar, maka justru dapat membuat orang tersebut mengalami / mempercepat kematian. Jadi tanggap di sini kurang arif penggunaanya.

Menurut saya tanggap adalah bereaksi dengan penuh perhitungan / nganggo peretungan. Apa yang akan kita lakukan dengan analisis terlebih dahulu / aja ngasal. Perhitungan tersebut bisa berupa Standar Operational Prosedure (SOP), jadi ada batas minimal pengetahuan yang wajib kita ketahui sebelum menolong orang yang kecelakaan tersebut, ada cara dan aturan. Misalnya, orang yang kecelakaan parah di kepala dengan tulang punggung patah tentu saja berbeda perlakuannya terhadap penderita kecelakaan ringan.

Kemudian, tanggap juga dapat dimaknakan sebagai kepekaan. Peka terhadap sesuatu yang ada di sekeliling kita, peka terhadap perubahan-perubahan yang ada. Menurut saya, timbulnya masalah / konflik pada dasarnya karena manusia tidak peka terhadap perubahan-perubahan yang ada. Seandainya manusia peka terhadap perubahan yang ada dari awal, tentu saja masalah / konflik dapat diantisipasi. Sebagai contoh: Seseorang akan marah jika digoda tidak tepat pada waktunya. Seharusnya sebelum orang tersebut marah kita itu harus tanggap, mungkin orang tersebut sedang tidak mood untuk digoda. Di sinilah kita dituntut wajib mengerti empan papan / situasi dan kondisi yang tepat. Agar tahu situasi dan kondisi, salah satu caranya yaitu dengan tanggap.
Karena kita tanggap akhirnya kita tidak mengodanya, akhirnya juga orang tersebut tidak marah kepada kita. Kemampuan tanggap tersebut biasa disebut dengan tepasalira yaitu kemampuan seseorang untuk dapat menghayati perasaan orang lain[1]. Di abad sekarang ini lebih dikenal dengan Kecerdasan Emosional (EQ).

2. Tangguh
Tangguh mungkin dapat dimaknakan sebagai kekuatan. Tetapi menurut saya, tangguh adalah sikap tidak mudah putus asa. Dalam menjalani hidup sebaiknya orang tidak mudah putus asa, oleh karenanya jika memiliki cita-cita tetapi tidak tekun / telaten tentu tidak akan tercapai cita-cita tersebut, karena proses menuju cita-cita yang kita inginkan tidak selamanya berjalan lurus. Jadi, tangguh bukan hanya kekuatan fisik belaka, namun juga suatu pilihan dalam menjalani proses hidup

Bagaimana orang yang tidak tangguh? Tentu yang dia cita-citakan hanya sebuah khayalan, tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Jika menjadi kenyataan tentu tidak sesuai dengan tujuan awal. Pribadi yang tangguh mungkin ketika ada masalah adalah menyelesaikan masalah tersebut, bukan menghindar dari masalah. Di sinilah ujiannya dan banyak orang tidak tangguh ketika mendapatkan masalah. Terbukti dengan banyaknya kasus bunuh diri, mabuk-mabukan, penyalahgunaan narkotika. Semua hal tersebut adalah tindakan yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru lari dari masalah dan justru menambah masalah, hal tersebut hanya bentuk dari keputus-asaan. Maka, masyarakat Jawa mengajarkan untuk memiliki sikap tangguh, sikap tidak mudah putus asa.
Sikap tangguh tersebut terutama diajarkan dalam hal menuntut ilmu, ditulis oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV dalam Serat Wédatama, Pucung pupuh 1:

Ngèlmu iku
Kalakoné kanti laku
Lekasé lawan kas
Tegése kas njantosani
Setya budya pangekesé dur angkara

Jadi, mencari ilmu itu terlaksana dan dapat tercapai dengan sempurna apabila dengan tindakan. Namun ternyata bukan hanya dengan tindakan saja tetapi harus bersamaan dengan sikap tangguh. Sikap tangguh bisa dipertahankan dengan kita memiliki visi. Visi tersebut kita simpan di dalam Long Term Memory / Memori Jangka Panjang kita yang sulit dilupakan seumur hidup.

3. Tanggon
Tanggon menurut Kamus Baoesastra Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta adalah tanggon n. tanggèn k: 1. kena dipitaja, kena diendelaké; 2. engg patjangan (botjah wadon) ; ktj tanggon, tanggen.

Tanggon di sini bisa dimaknakan karena kita memiliki kelebihan, maka kita diandalkan oleh orang lain. Tentu saja agar orang lain mempercayai kita, kita wajib tanggap (tahu apa yang dikehendaki orang yang memberikan kepercayaan kepada kita), serta tangguh (ketika menghadapi masalah terhadap apa yang kita kerjakan untuk orang yang mempercayakan kepada kita, maka wajib diselesaikan), jika keduanya tidak kita penuhi maka dapat berakibat orang tersebut menjadi tidak lagi percaya kepada kita.

Kepercayaan orang lain kepada kita dapat dibangun dari :
Ajining diri saka lathi.
Saya menerjemahkannya kekuatan yang kita miliki sebenarnya berasal dari apa yang kita ucapkan. Jika yang kita ucapkan tidak sesuai dengan tindakan kita, bagaimana orang lain akan percaya kepada kita?
Jadi sebagai pelengkap, saya mengutip dari Ki Hajar Dewantara, agar orang lain dapat percaya kepada kita yaitu dengan:

Ing ngarsa Sung Tulada,
Ing Madya Mangun Karsa,
Tut Wuri Handayani.  

Terjemahan bebas : Di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung.

4. Kesimpulan
Jadi, menurut saya Tanggap, Tangguh, dan Tanggon adalah tiga kekuatan yang tidak bisa dipisahkan karena bersifat saling melengkapi. Kearifan-kearifan yang ada pada masyarakat Jawa pada dasarnya tetap relevan digunakan pada masa kini. Mengatasi kehidupan adalah mensiasatinya dan menjalani dengan arif.

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar, Rajawali. Jakarta.
Thomas, David. 2007. Improving Your Memory, Dian Rakyat, Jakarta.
Byrne, Rhonda. 2007. The Secret, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.




[1] Lihat Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat hal 123.

Kamis, 26 Agustus 2010

KORUPSI OH KORUPSI

Ketika alm. bapak saya masih di Badan Pengawas dan sebelum meninggal dunia. Saya sering mendapat curhat dari beliau tentang masalah korupsi yang ada di sebuah instansi. SMS itu sebenarnya sudah hilang, tapi aneh waktu simcard saya pindah ke hp yg lain, tiba-tiba sms itu muncul lagi.... Subhanalloh.
Ini sms curhatan beliau yg aku foto....





















Korupsi inilah yang membuat bangsa kita miskin...
Saya hanya berharap bahwa pemimpin kita harus jujur pada dirinya sendiri.
Hidup sebenarnya hanya pilihan-pilihan, pilihan menjadi orang baik, pilihan menjadi orang jahat.
Karena pada dasarnya manusia diberi akal untuk berpikir. dan pilihan-pilihan hanya ada pada kalian sendiri.

Nyadran (Nyekar)


Nyadran (Nyekar)
Sebuah tradisi Kejawen menjelang Ramadhan

            Masyarakat Jawa sangat mengahargai leluhurnya, baik yang masih hidup ataupun sudah mati. Leluhur dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang sangat berpengaruh terhadap hidup kita. Leluhur dianggap sebagai lantaran, dan yang menyebabkan kita ada. Penghormatan kepada yang masih hidup dengan jalan sowan. Sedangkan kepada yang sudah meninggal dengan jalan nyekar, mengunjungi pemakamannya serta menghantarkan do’a.
            Nyekar adalah sebuah ritualitas, walaupun berdo’a dimanapun sebenarnya bisa saja dilakukan, namun dirasakan oleh masyarakat Jawa kurang nges (menyentuh hati). Inilah yang dinamakan spiritualitas. Nilai yang dikandung dalam tradisi Nyekar ini adalah :
1. Manusia ingat akan jati dirinya sebagai manusia,
2. Konsekuensi mahkluk hidup bahwa nantinya juga akan mati.
3. Hantaran do’a seorang anak kepada orang tuanya sebagai amal jariyah.
4. Mengingat jasa orangtua yang telah berusaha membesarkan anaknya.
            Tradisi Nyekar menjelang bulan Ramadhan biasa dinamakan Nyadran. Konsep spiritualitas yang menggunakan hati menjadikan si ego dengan Tuhan yang mengerti dan mengetahui. Ini yang tidak bisa diketahui oleh manusia yang lainnya. Seakan-akan hanya menjadi privasi yang merupakan proses ibadah.
Pembelajaran budaya ini kepada generasi berikutnya adalah dengan mengajaknya nyekar, dan terkadang memberitahu serta menceritakan silsilah keluarga, menceritakan jasa besar orang yang dido’akan.
Terlepas dari sebuah kontroversi bid’ah atau tidak, namun setidaknya tradisi ini telah mengakar kuat. Sebenarnya dupa atau membakar kemenyan adalah aroma terapi untuk menimbulkan efek wangi. Hanya saja standar wangi kemenyan dengan wangi yang lain tentu berbeda, standar wewangian sekarang berasal dari parfum dan beraneka ragam pula.