Jumat, 15 Januari 2010

Awal Aku Berlari

Seorang anak kecil nampak sedang belajar berjalan, terjatuh dan terjatuh lagi dia.
Sambil berkata “iii…bu… i… bu…” dengan terbata-bata .
“ayo… kemari… mrenea” kata sang ibu sambil menengadahkan kedua tangannya ke anaknya.
Tak seberapa lama sang anak telah berada di pelukkan ibunya, ayah menghampirinya dan memberinya susu kemasan sebagai hadiah telah melakukan tindakan yang sempurna.
Bayangan itu ada di dalam memoriku dan keluar seperti potongan-potongan film setelah aku melihat sebuah kursi tua, saat itulah aku pertama kali mendapatkan pelajaran berharga. Aku jatuh terus menerus dan berulang kali, akan tetapi aku tak kenal putus asa belajar berjalan. Dan kursi tua itulah yang selalu mengingatkanku, kursi itulah yang memberikan pelajaran bahwa terjedot benda keras sangat sakit. Seandainya aku putus asa dan menyerah, maka sampai sekarangpun aku tak bisa berjalan. Tapi itulah hebatnya sebagai seorang anak kecil, selalu ingin tahu, dan terus belajar, dan karunia yang paling indah sebagai anak kecil adalah belum mudah terpengaruh omongan orang lain. Seperti yang pernah aku alami, yang terus menerus mendapatkan sugesti dari orang lain “kuliah itu… mahal, kuliah di ui… …” dan “bla… bla… bla…”. Sebagai orang yang mempunyai mimpi tinggi sebaiknya kata-kata dari orang lain perlu disaring terlebih dahulu, jangan diterima begitu saja.
Ibuku sedang membersihkan rumah, dan aku asyik sendiri bermain dengan mobil-mobilan baruku. Seakan mobil itu bisa diajak berbicara. Maka kuajak bicara dia, walaupun aku terbata-bata, kutanya lalu kujawab sendiri, sangat khas anak kecil. Aku sudah lama menunggu ibuku menyelesaikan pekerjaan rumah, tapi belum juga selesai. Akhirnya kupaksakan aku berdiri, aku sudah bosan bermain mobil-mobilan dan celaka! Keseimbanganku oleng dan “thak..!!” dilanjutkan “oe… oe…”. Aku kejedot meja lagi. Dua bekas telah ada di kepalaku, mungkin inilah yang digariskan sebagai hiasan abadi. Aku raba kepalaku dan sampai sekarang masih ada .
Aku tersenyum simpul.
Kemudian ibuku mendatangi pangeran ragil nya, dan berkata “cup..cup…cup…” sambil meniupi kepalaku yang kejedot. Sangat khas orangtua Jawa. Kehangatan kasih sayang orang tua tak bisa tergantikan oleh siapapun. Aku kelelahan di gendongannya dan akhirnya aku tertidur dengan pulas.
Aku terbangun dari tidurku karena ada sesuatu yang hangat dan basah menggangguku, ternyata aku ngompol. Dan aku sudah ada di kasur yang empuk, ibuku yang ikut berbaring di sampingku dengan wajahnya yang nampak kelelahan hanya berkata “ehmm cah bagus ngompol, pinterr.. udah nggak nangis lagi”, wajahnya berubah menjadi sumringah, karena kecerdasan putranya bertambah lagi, karena sudah tidak menangis setelah ngompol.
Itulah yang kuingat ketika melihat dipan kasur ukiran dari Jepara. Kelelahan orang tua tidak dirasakan sama sekali demi anak-anaknya, kebahagiannya terpancar melihat perkembangan buah hatinya. Seluruh rumah dan tiap-tiap bagiannya terdapat memori tersendiri yang sangat indah dan tak bisa terlupakan dan tergantikan. Sengaja aku puaskan seharian penuh untuk melihat dan mengingatnya, kadang aku tersenyum sendiri jika terdapat hal yang menyenangkan. Sekali lagi, menjadi anak kecil tidak memiliki rasa bersalah sedikitpun, walaupun berbuat yang merusak dan membahayakan. Karena anak kecil memang sedang ditulis oleh orang tuanya untuk menjadi apa. Aku duduk di teras dan melihat halaman rumah. Kenangan yang hadir adalah saat aku belajar berlari mengambil mainan.
Tak ada yang menitahku, yang ada justru meneriakiku dengan kata-kata “ayooo ambil… sedikit lagi…”. Aku berlari dan berusaha mengambilnya, aku hampir mengambil mainan itu dari tangan kanan ayahku. Tapi ayahku masih juga tak memberikannya, malah berjalan mundur. Aku masih kesusahan berlari, tapi akhirnya karena terus mendapatkan motivasi dari ayah, aku bisa berlari juga. “Hap..” tanganku bisa mengambil mainan itu. “bagus… nak… bagus…” hadiah kecupan mendarat di pipi kananku. Itulah Awal aku bisa berjalan, itulah awal aku bisa berlari. Jika aku menyerah pada saat itu, mungkin sampai sekarangpun aku tak bisa berjalan.
Lantai-lantai menjadi saksi, aku belajar berlari, sampai benar-benar bisa berlari kesana kemari. Mengambil barang ini itu, merusakkannya, memecahkannya, merobek-robek buku dharma wanita yang tersusun di rak. Mungkin aku tergolong anak yang hiperaktif karena ketika disuruh makanpun, masih tetap berlarian mengambil barang-barang yang ada dan memainkannya. Apapun menjadi mainan olehku pada saat itu.
“adek… maem dulu, aa dulu”, suruh ibuku.
Karena ibuku udah kesal, akhirnya dia memakai jurus yang sangat ampuh, yaitu cara menyuapinya dengan memainkan seolah-olah seperti pesawat terbang.
“ngeng… ngeng…, aa dulu ya?” rayu ibuku.
Aku menolehkan kepala, dan ternyata cara tersebut mengalihkan perhatianku, sepertinya aku sangat tertarik dengan permainan itu. Aku membuka mulutku dan seolah-olah di situ adalah tempat mendarat bagi pesawat terbang. Setelah selesai mengunyah, aku berkata “aa..aa..”. Ketika makanan dalam mangkuk hampir habis, aku menemukan benda yang sangat seru, benda ini berbulu dan bisa bergerak sendiri. Mirip monster akan tetapi berukuran mini, aku mengambilnya. Ibuku berteriak “jangan…, jangan…, itu gatal..”. Ibuku mengambilnya lalu membuangnya, saat itulah aku berkenalan dengan benda yang bernama ulat. Bagiku pada saat itu bukan ulat, tapi monster. Akhirnya aku tau jika ulat yang berbulu kebanyakan jika bersinggungan dengan kulit menyebabkan rasa gatal di badan

Tidak ada komentar: